Keinginan yang Terkabul

Annisa Wicaksono
2 min readMar 10, 2021

--

Tuhan bisa saja mengabulkan seluruh keinginan kalian, tapi kalian akan sadar kalau keinginan itu ternyata memang sangat manis jika, di mimpi saja.

Bakat dan kelebihan adalah sesuatu yang aku anggap sangat tidak bisa diganggu gugat. Aku pun sering kali menyerah sebelum berperang ketika berhadapan dengan dua itu. Semua yang kulakukan, seluruh usaha dan kerja keras rasanya nihil jika dibandingkan dengan bakat. Seperti kita memulai di garis start yang berbeda. Menyakitkan.

Tuhan, aku harap aku bisa menjadi pintar..

Untuk itu, aku tidak ingin menjadi kalah. Bahkan ketika bakat-bakat tidak masuk akal itu datang, aku tidak ingin terlalu terlihat menyedihkan. Memaksa diri yang masih amat kecil untuk terus belajar, mengikuti berbagai macam kegiatan yang tidak tahu untuk apa di masa depan. Menulis, berbahasa asing, sempoa, menari, bimbel pelajaran. Wah, sibuk ya masa kecilku. Tapi itu semua menyenangkan, untuk doa yang aku ingin Tuhan kabulkan, aku ingin tunjukkan seluruh usahaku.

Tapi.. menjadi pintar tidak semenyenangkan itu. Orang akan berpikir kalau aku hanya pintar, atau memang sudah pintar dari lahir sehingga aku tidak tahu sulitnya mencerna pelajaran. Aku yang diberkahi otak encer ini mana tahu ada orang yang bahkan tidak mengerti apa yang guru tulis di papan tulis. Ternyata kelebihan itu menyiksa..

Dipandang tidak pernah merasa susah, dipandang sebagai anak kesayangan yang tidak tahu rasanya dimarahi ternyata menyebalkan. Harus berpindah satu kota ke kota lain selama SD membuat itu terasa semakin menyebalkan, kata mereka “Lihat anak kota sombong yang mentang-mentang pintar”.

Tuhan.. aku berharap aku menjadi bodoh saja…

Lalu.. ketika masuk ke jenjang SMA di mana semuanya berubah total. Aku bersekolah di tempat yang jauh dari rumah, lingkungan yang amat berbeda, juga orang-orang yang berbeda. Semua itu membuat pandanganku yang menyempit agak sedikit terbuka.

Aku harus menerima kenyataan bahwa aku bersekolah dengan anak-anak yang jauh lebih pintar, lebih rajin, dan yang pasti terlihat mempunyai tujuan hidup. Dengan sesuatu yang amat jauh berbeda, semuanya terasa semakin membuat pikiran dan tubuhku tidak bisa diajak bekerja sama. Aku hampir masuk rumah sakit setiap sebulan sekali.

Masuk sekolah hanya beberapa hari dalam sebulan, mengejar ketertinggalan, sekelas dengan orang-orang jenius. Itu semua menyebalkan. Seluruh jiwa kompetitifku rasanya memudar dan berubah menjadi “yasudahlah”.

Juara 35/36 pada semester pertama adalah sebuah pukulan di muka. Aku pun mengerti apa itu rasanya menjadi tidak mengerti apa-apa. Diremehkan oleh guru dan seperti kertas wallpaper dinding yang tidak diperhitungkan.

Yasudahlah, hidup memang menyebalkan. Semua itu membuatku sadar, seluruh doa kita itu selalu didengarkan oleh Tuhan. Tapi Tuhan juga memberitahu kalau apa yang diminta itu belum tentu baik. Iri pada kehidupan orang lain pun percuma, karena pada akhirnya memang hanya diri kita yang bisa kita andalkan.

Semua omongan adalah doa, baik atau buruk. Menjadi versi terbaik dari diri kita tanpa harus mendengarkan orang lain. Tanpa harus peduli bagaimana orang memandang kita.

Tuhan, aku percaya padamu untuk semua rencana yang sudah Engkau atur. Aku hanya akan tetap berusaha untuk menjadi manusia yang baik dan memperjuangkan tujuanku.

-ich

--

--