Di balik Pintu

Annisa Wicaksono
2 min readMar 20, 2024

--

Aku tidak tahu kalau ternyata membuka pintu bukan sekedar mendorong atau menarik. Bukan sekedar memutar kunci atau menggeser.

Membuka pintu saat ini nampak seperti momok yang menakutkan, rasanya dingin, rasanya seperti ada monster besar dengan tangan besar yang siap mencengkrammu sesaat setelah pintu itu terbuka.

Kalau aku bisa mendeskripsikan rasa takut yang menarik mundur kakiku, maka begitulah bentuknya.

Kadang tidak sekali dua kali pikiran pemberani hinggap, “sudahlah, tidak akan tahu kalau pintunya tidak dibuka.” Tapi si pemberani itu bermulut besar dan meninggalkanku sendirian memegang gagang pintu yang semakin lama semakin mengeras.

Kapan si pengecut ini bisa membuka pintu? Apa saat dia mulai kehabisan oksigen? Apa saat seluruh cahaya di ruangan lenyap dan dia tenggelam dalam gelap? Atau saat bahkan dia tidak bisa mendengar apapun selain napasnya yang semakin berat?

Kemarin napas tersenggal, tapi masih belum membuat pintu terbuka. Hari ini kaki dan tangannya mati rasa, dan akhirnya aku memberanikan diri membuka pintu dengan sisa tenaga yang dipunya atau lebih tepatnya membiarkan seluruh adrenalin mengambil alih, buru-buru takut isi kepala kembali mengambil alih.

Pintu itu tidak terbuka sempurna, terbuka sedikit. Ada cahaya yang merayap sedikit melalui celah seukuran setengah kepala yang terbuka.

Di sana ada bunga-bunga yang tumbuh mekar dengan cantik. Tidak beraturan, tapi amat cantik. Begitu cantik sampai sampai bibir tersenyum. Melupakan bagaimana sakitnya sekujur badan. Tidak ada monster menyeramkan itu, hanya ada hangat yang menyegarkan..

Sepertinya tidak, aku bukan takut dengan apa yang dibalik pintu.. Aku ternyata lebih takut membiarkan yang di dalam untuk keluar, membiarkan bunga-bunga itu tersentuh hal-hal yang menyakitiku.

Ternyata medan perang ini, mungkin pada akhirnya harus kuhadapi sendiri. Akan kuhadapi sampai aku bisa menjadi bunga cantik di luar pintu.. Entah akan memakan bulan, tahun, atau seluruh hidup..

--

--